Tugas Terstruktur 11 "Studi Kasus: Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) 600ml"

 

LAPORAN ANALISIS STRATEGI GREEN SUPPLY CHAIN MANAGEMENT (GSCM)

Studi Kasus: Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) 600ml

1. Pendahuluan

Industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) merupakan salah satu sektor manufaktur paling vital di Indonesia yang melayani kebutuhan dasar masyarakat. Namun, di balik pertumbuhan ekonominya, industri ini menyumbang beban lingkungan yang signifikan, terutama terkait polusi plastik sekali pakai dan jejak karbon dari distribusi yang luas. Latar belakang pemilihan produk AMDK ukuran 600ml didasarkan pada fakta bahwa produk ini memiliki volume penjualan tertinggi sekaligus menjadi kontributor utama sampah plastik di aliran sungai dan pesisir. Penerapan Green Supply Chain Management (GSCM) bukan lagi sekadar pilihan etis, melainkan keharusan strategis untuk memastikan keberlanjutan bisnis di tengah regulasi lingkungan yang semakin ketat dan kesadaran konsumen yang meningkat. Laporan ini bertujuan untuk memetakan rantai pasok konvensional dan merumuskan strategi perbaikan yang mengintegrasikan aspek ekonomi dengan kelestarian ekosistem.


2. Pemetaan Rantai Pasok Konvensional

Rantai pasok konvensional AMDK saat ini didominasi oleh model ekonomi linier yang kurang memperhatikan dampak jangka panjang setelah produk dikonsumsi. Proses dimulai dari Pengadaan Bahan Baku (Sourcing), di mana perusahaan mengekstraksi air tanah atau mata air pegunungan dan membeli bijih plastik PET virgin yang diproduksi dari minyak bumi. Tahap berikutnya adalah Produksi atau Manufaktur, yang melibatkan proses pemanasan tinggi (blow molding) untuk membentuk botol, sterilisasi air dengan teknologi UV atau ozon, serta proses pengisian dan pelabelan yang intensif energi.

Setelah produk siap, masuk ke tahap Logistik Inbound dan Outbound, di mana bahan baku dan produk jadi didistribusikan menggunakan armada truk diesel yang menghasilkan emisi gas rumah kaca tinggi. Produk kemudian bergerak ke tahap Distribusi dan Ritel melalui jaringan gudang regional hingga mencapai rak-rak di supermarket maupun toko kelontong. Tahap terakhir yang paling kritis adalah Akhir Masa Pakai (End-of-Life), di mana mayoritas botol plastik dibuang oleh konsumen ke tempat sampah umum. Tanpa sistem pemisahan yang efektif, botol-botol ini berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) atau tercecer ke lingkungan, mengakibatkan kerusakan ekologis permanen.


3. Analisis Dampak Lingkungan (Titik Kritis)

Berdasarkan pemetaan tersebut, terdapat dua titik kritis yang memberikan dampak negatif terbesar terhadap lingkungan. Titik kritis pertama berada pada tahap pengadaan dan manufaktur kemasan, yaitu penggunaan plastik PET virgin. Masalah utama di sini adalah ketergantungan pada bahan bakar fosil yang tidak terbarukan. Produksi plastik baru memerlukan energi termal yang sangat besar dan melepaskan emisi \text{CO}_2 yang signifikan ke atmosfer, berkontribusi langsung pada pemanasan global.

Titik kritis kedua adalah pada tahap akhir masa pakai produk. Rendahnya tingkat pengumpulan kembali botol plastik pasca-konsumsi menyebabkan penumpukan limbah padat yang luar biasa. Secara lingkungan, plastik yang tidak terkelola akan terfragmentasi menjadi mikroplastik yang merusak kualitas tanah dan air, serta mengancam keanekaragaman hayati laut. Dampak ini menciptakan beban eksternalitas lingkungan yang harus ditanggung oleh masyarakat dan generasi mendatang.


4. Usulan Strategi Green Supply Chain (GSCM)

Strategi 1: Pengadaan Hijau melalui Substitusi Material rPET

Strategi pertama dalam prinsip Green Sourcing adalah mengganti penggunaan plastik PET virgin dengan 100% Recycled PET (rPET). Implementasinya dilakukan dengan membangun kemitraan strategis jangka panjang bersama industri daur ulang lokal yang memiliki sertifikasi food-grade. Perusahaan harus berinvestasi pada sistem jaminan kualitas untuk memastikan material daur ulang tetap aman bagi konsumen. Manfaat lingkungan yang diharapkan adalah penurunan drastis pada ekstraksi minyak bumi dan pengurangan jejak karbon manufaktur hingga lebih dari 70%, sekaligus menciptakan pasar yang stabil bagi ekosistem daur ulang nasional.

Strategi 2: Logistik Balik melalui Sistem Deposit-Return Berbasis Digital

Dalam prinsip Reverse Logistics, perusahaan diusulkan untuk menerapkan sistem deposit atau pengembalian botol yang terintegrasi dengan teknologi digital. Cara kerjanya adalah dengan menempatkan mesin penukaran otomatis (Reverse Vending Machine) di berbagai pusat ritel. Konsumen yang mengembalikan botol kosong akan mendapatkan insentif berupa poin digital atau diskon belanja. Strategi ini secara efektif akan menarik kembali limbah plastik dari tangan konsumen langsung ke rantai pasok perusahaan untuk diolah kembali, sehingga mencegah sampah plastik masuk ke lingkungan terbuka dan mengurangi beban di TPA secara signifikan.

Strategi 3: Desain Hijau melalui Optimasi Struktur Kemasan

Strategi ketiga berfokus pada Green Design dengan menerapkan konsep lightweighting atau pengurangan berat gramasi botol. Implementasinya dilakukan dengan mendesain ulang bentuk botol agar tetap kokoh namun menggunakan material plastik yang lebih tipis, serta menghilangkan penggunaan lem pada label kemasan (menggunakan sistem sleeve atau laser-print). Manfaat lingkungan dari strategi ini adalah pengurangan volume penggunaan plastik sejak dari sumbernya (source reduction). Dengan material yang lebih sedikit, energi yang dibutuhkan untuk transportasi juga berkurang karena beban angkut yang lebih ringan, yang pada akhirnya menurunkan emisi karbon secara keseluruhan.

5. Kesimpulan dan Rekomendasi

Penerapan GSCM pada rantai pasok AMDK merupakan solusi komprehensif untuk menyelaraskan target profitabilitas dengan tanggung jawab lingkungan. Melalui transisi ke material rPET, penguatan logistik balik, dan inovasi desain kemasan, perusahaan dapat secara signifikan mengurangi dampak negatif pada titik-titik kritis yang telah diidentifikasi. Sebagai rekomendasi, perusahaan disarankan untuk memulai proyek percontohan pada satu wilayah perkotaan terlebih dahulu sebelum melakukan skala nasional, serta aktif berkolaborasi dengan pemerintah dalam skema Extended Producer Responsibility (EPR). Komunikasi pemasaran yang transparan mengenai upaya hijau ini juga diperlukan untuk membangun loyalitas konsumen terhadap merek yang bertanggung jawab.


Daftar Pustaka

Srivastava, S. K. (2007). Green supply-chain management: A state-of-the-art literature review. International Journal of Management Reviews, 9(1), 53-80.

Zhu, Q., & Sarkis, J. (2004). Relationships between operational practices and performance among early adopters of green supply chain management practices. Journal of Operations Management, 22(3), 265-289.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2022). Laporan Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. Jakarta: KLHK RI.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tugas Terstruktur 2 "Analisis Ekologi Industri dan Dampak Lingkungan Global"

Tugas Mandiri 2 "Refleksi Pribadi"

Tugas Terstruktur 1 "Menimbang Peran Insinyur Industri dalam Menyusun Sistem Produksi Hijau"